Novel
Ranah 3 Warna adalah novel kedua dari trilogi negeri 5 menara yang
penulisnya adalah Ahmad Fuadi, seorang mantan wartawan TEMPO dan VOA
yang memiliki segudang prestasi. Diantaranya adalah memperoleh 8
beasiswa dari luar negeri. Dan dianugerahi sebagai penulis dan fiksi
terfavorit.
Novel
Ranah 3 Warna mendapat apresiasi yang begitu besar dari masyarakat, ini
karena, kali ini berbeda dengan yang lain, dimana novel ini mengandung
makna hidup, kesabaran, keberanian, keikhlasan, dan kesungguhan. Jarang
sekali novel menceritakan kehidupan di sebuah pondok, tapi sang penulis
benar-benar menyajikannya dengan sangat apik. Ditambah beberapa budaya
masyarakat Minang yang unik. Arti dari ranah 3 warna ialah tiga daratan,
Bandung, Amman Yordania, dan Quebec Canada.
Cerita dalam buku ini tidak hanya perjuangan saja, tapi juga diselingi kisah percintaan seorang Alif kepada Raisa.
Novel
ini mempunyai beberapa kelebihan, dengan kelebihannya inilah yang
membuat unggul diantara novel lainnya yang sudah mendahuluinya. Penulis
tidak hanya menuangkan fiksi belaka, tapi juga pengalaman hidup,
penggambaran suasana yang tepat, dan mudah dimengerti, yang membuat isi
novel ini lebih hidup. Penulis mampu membawa pembaca untuk benar-benar
merasakan bagaimana menjelajah Benua Amerika, ikut menyelami budaya
orang barat, dan berinteraksi dengan penduduk di sana. Dan tentu saja
penulis menyajikan bagaimana hidup itu harus dijalani, walau sekeras
apapun usaha kita harus tetap diiringi dengan kesabaran.
Untuk
secara fisik, novel ini menarik, unik, dan covernya yang membuat
penasaran. Ialah sepasang sepatu, pemberian dari ayah Alif di mana telah
menginjak tiga ranah yang berbeda, dari Minang, Timur Tengah, hingga
Amerika. Pembatas buku ini unik,berbentuk daun maple yang menjadi khas
negara Kanada.
Sayang
sekali, penulis tiba-tiba mengabaikan tokoh Bang Togar di pertengahan
hingga akhir novel ini, padahal Bang Togar lah yang berjasa dalam
kehidupan Alif di Bandung. Lalu, cara si penulis menggambarkan tokoh si
Alif juga kurang mendalam. Tidak ada konflik yang berhasil dikelola si
pengarang dengan baik dan mendalam. Semuanya hadir, ada yang dipaksakan dan hilang begitu cepat.
Namun,
menurut saya, keseluruhan dari novel ini adalah bagus, luar biasa.
Penuh inspiratif melebihi dari novel yang pertama. Ahmad Fuadi selalu
menyelipkan kata-kata yang memotivasi, mulai dari yang Arab hingga
Inggris.
Pembaca
dibuat untuk memaknai hidup yang sulit dijalani, dengan sabar, ikhlas,
dan tawakal. Sekeras apapun usaha kita itu. Begitu banyak pelajaran yang
bisa diambil.
Ahmad
Fuadi berhasil menciptakan sebuah buku yang penuh inspirasi, penuh
semangat, dan penuh kesabaran dalam menjalani hidup ini.
Betapa
hebatnya buku ini, sungguh sangat wajib dibaca oleh anak-anak, remaja,
bahkan orang tua, orang yang sedang ingin mencari beasiswa, orang-orang
yang merasa nyaris putus asa, orang yang masih pesimis dengan cita-cita
tingginya, dan wajib dibaca juga oleh setiap orang yang berlari dan
tidak berhenti berlari mengejar mimpi-mimpinya. Tentu saja buku ini juga
wajib dimiliki oleh semua kalangan. Sasaran pembaca ialah para pemuda,
di mana pemuda pada umumnya memiliki semangat yang tinggi, cocok
dimiliki oleh pemuda-pemuda.
“Dalam hidup ini, ternyata man jadda wajadda saja tidak cukup. Ada jarak terbentang diantara sungguh-sungguh dan sukses. Jarak yang harus ditempuh dengan sabar aktif. Man Shabara Zhafira.”
Identitas Novel :
Judul : Ranah 3 Warna
Penulis : A. Fuadi
Tahun Terbit : 2011
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Tebal Buku : 473
Latar Belakang Penulis :
A Fuadi lahir di nagari Bayur, sebuah kampung kecil di pinggir Danau Maninjau tahun 1972, tidak jauh dari kampung Buya Hamka. Ibunya guru SD, ayahnya guru madrasah.
Lalu Fuadi merantau ke Jawa, mematuhi permintaan ibunya untuk masuk sekolah agama. Di Pondok Modern Gontor dia bertemu dengan kiai dan ustad yang diberkahi keikhlasan mengajarkan ilmu hidup dan ilmu akhirat.
Gontor pula yang membukakan hatinya kepada rumus sederhana tapi kuat, ”man jadda wajada”, siapa yang bersungguh sungguh akan sukses.
Juga sebuah hukum baru: ilmu dan bahasa asing adalah anak kunci jendela-jendela dunia. Bermodalkan doa dan manjadda wajada, dia mengadu untung di UMPTN. Jendela baru langsung terbuka. Dia diterima di jurusan Hubungan Internasional, UNPAD.
Semasa kuliah, Fuadi pernah mewakili Indonesia ketika mengikuti program Youth Exchange Program di Quebec, Kanada. Di ujung masa kuliah di Bandung, Fuadi mendapat kesempatan kuliah satu semester di National University of Singapore dalam program SIF Fellowship. Lulus kuliah, dia mendengar majalah favoritnya Tempo kembali terbit setelah Soeharto jatuh. Sebuah jendela baru tersibak lagi, Tempo menerimanya sebagai wartawan. Kelas jurnalistik pertamanya dijalani dalam tugas-tugas reportasenya di bawah para wartawan kawakan Indonesia.
Selanjutnya, jendela-jendela dunia lain bagai berlomba-lomba terbuka. Setahun kemudian, dia mendapat beasiswa Fulbright untuk program S-2 di School of Media and Public Affairs, George Washington University. Merantau ke Washington DC bersama Yayi, istrinya—yang juga wartawan Tempo—adalah mimpi masa kecilnya yang menjadi kenyataan. Sambil kuliah, mereka menjadi koresponden TEMPO dan wartawan VOA. Berita bersejarah seperti peristiwa 11 September dilaporkan mereka berdua langsung dari Pentagon, White House dan Capitol Hill.
Tahun 2004, jendela dunia lain terbuka lagi ketika dia mendapatkan beasiswa Chevening untuk belajar di Royal Holloway, University of London untuk bidang film dokumenter. Kini, penyuka fotografi ini menjadi Direktur Komunikasi di sebuah NGO konservasi: The Nature Conservancy.
Tidak punya cukup uang untuk sekolah, Fuadi bekerja keras untuk mencari beasiswa sejak kuliah. Tidak sia-sia, sampai sekarang Fuadi telah mendapatkan 8 beasiswa dari luar negeri, membuat dia bisa mencicipi pengalaman belajar di Kanada, Singapura, Amerika Serikat dan Inggris.
Fuadi dan istrinya tinggal di Bintaro, Jakarta. Mereka berdua menyukai membaca dan traveling.
”Negeri 5 Menara” adalah buku pertama dari rencana trilogi. Buku-buku ini berniat merayakan sebuah pengalaman menikmati atmosfir pendidikan yang sangat inspiratif. Semoga buku ini bisa membukakan mata dan hati. Dan menebarkan inspirasi ke segala arah.
Sebagian royalti diniatkan untuk merintis Komunitas Menara, sebuah organisasi sosial berbasis relawan (volunteer) untuk memajukan pendidikan khususnya buat orang yang tidak mampu. Ke depan, Komunitas Menara ingin menyediakan sekolah, perpustakaan, rumah sakit, dan dapur umum secara gratis buat kalangan yang tidak mampu.
Pokok-Pokok Isi Novel (Unsur Intrinsik)
Tema : Seseorang yang ingin mewujudkan mimpinya seperti seorang Habibie.
Tokoh dan Perwatakan :
Ø Alif: Tokoh 'aku' dalam cerita ini.
Ø Randai: Teman Alif sejak kecil yang selalu bersaing dalam mengejar impian.
Ø Raisa: Teman sekaligus tetangga Alif di Bandung, dan Alif jatuh hati padanya.
Ø Rusdi: Teman satu grup Alif yang unik dan pandai pantun
Ø Francois Pepin: Homologue Alif di Quebec
Alur :
Novel ini memakai alur maju, karena dalam ceritanya tidak terdapat kilas balik sehingga membuat pembaca penasaran apa yang akan terjadi di kisah selanjutnya.
Sudut Pandang :
Novel ini memakai sudut pandang orang pertama tunggal sebagai tokoh utama.
Latar :
Tempat : Pondok Pesantren Madani Ponorogo.
Suasana : Menyenangkan, menyedihkan, dan menegangkan.
Waktu : Pagi hari, siang hari, sore hari, dan malam hari.
Bahasa :
Bahasa yang digunakan dalam novel ini tetap bahasa Indonesia walaupun ada sedikit bahasa yang tidak menggunakan bahasa Indonesia.
Sinopsis
Alif baru saja tamat dari Pondok Madani. Dia bahkan sudah bisa bermimpi dalam bahasa Arab dan Inggris. Impiannya? Tinggi betul. Ingin belajar ITB Bandung seperti Habibie, lalu merantau sampai ke Amerika.
Dengan semangat menggelegak dia pulang ke Maninjau dan tak sabar ingin segera kuliah. Namun kawan karibnya, Randai, meragukan dia mampu lulus UMPTN. Lalu dia sadar, ada satu hal penting yang dia tidak punya. Ijazah SMA. Bagaimana mungkin mengejar semua cita-cita tinggi tadi tanpa ijazah?
Terinspirasi semangat tim dinamit Denmark, dia mendobrak rintangan berat. Baru saja dia bisa tersenyum, badai masalah menggempurnya silih berganti tanpa ampun. Alif letih dan mulai bertanya-tanya: “Sampai kapan aku harus teguh bersabar menghadapi semua cobaan hidup ini?” Hampir saja dia menyerah.
Rupanya mantra 'man jadda wajada' saja tidak cukup sakti dalam memenangkan hidup. Alif teringat mantra kedua yang diajarkan di Pondok Madani: ''man shabara zhafira'. Siapa yang bersabar akan beruntung. Berbekal kedua mantra itu dia songsong badai hidup satu persatu. Bisakah dia memenangkan semua impiannya?
Kemana nasib membawa Alif? Apa saja 3 ranah berbeda warna itu? Siapakah Raisa? Bagaimana persaingannya dengan Randai? Apa kabar Sahibul Menara? Kenapa sampai muncul Obelix, orang Indian dan Michael Jordan dan Ksatria Berpantun? Apa hadiah Tuhan buat sebuah kesabaran yang kukuh?
Ranah 3 Warna adalah hikayat bagaimana impian tetap wajib dibela habis-habisan walau hidup terus digelung nestapa. Tuhan bersama orang yang sabar.
Amanat
1. Janganlah cepat mudah putus asa dalam meraih cita cita walaupun banyak rintangan yang harus kita hadapi karena Tuhan pasti memberikan jalan yang terbaik.
Kelebihan :
Dalam hal organisasi novel ini, hubungan antara satu bagian dengan bagian yang lain harmonis dan dapat menimbulkan rasa penasaran pembaca. Karena dalam penceritaan isi novel tidak berbelit-belit.
Kelemahan :
Menggunakan kata kata yang sulit dimengerti dalam novel tersebut. Contohnya kata 'man jadda wajada' dan kata ''man shabara zhafira'.
0 komentar:
Posting Komentar